donderdag 21 oktober 2010

Abdul Wahid Kadungga, Sang Mujahid Lintas Negara itu Tutup Usia

Diposting pada Ahad, 13-12-2009 | 16:00:13 WIB

Abdul Wahid Kadungga. Para aktivis Islam sudah tidak asing dengan nama ini. Kadungga juga kesohor di mata musuh-musuh Islam, baik di Indonesia maupun mancanegara.

Kadungga adalah menantu almarhum Kahar Mudzakkar, Panglima Hisbullah Makassar dan pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.

Semasa hidupnya, Kadungga tercatat sebagai salah seorang pentolah demonstran angkatan '66. Ketika memimpin PII, gelombang aksi menentang kekuasaan Soekarno untuk menumbangkan Orde Lama bergolak. Padatnya aktivitas di dunia pergerakan, membuat Kadungga tidak sempat menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).

Pria asal Masamba, Luwu Utara ini sempat disebut-sebut sebagai petinggi Jamaah Islamiyah (JI) karena ia dekat dengan Abu Bakar Ba’asyir saat masih di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 1985. Saat itu, Kadungga baru datang dari Belanda sementara Ba’asyir baru melarikan diri dari Indonesia.

Sabtu sore kemarin (12/12/2009) pukul 16.40 WIB, pendiri "Young Muslim in Europe" ini berpulang ke rahmatullah di Rumah Sakit Darma Nugraha, Rawamangun, Jakarta Timur. Innalillahi wainna ilaihi roji’un...

Nama Kadungga begitu akrab bagi media anti islam, sehingga ia sering jadi target pembentukan opini. Sebut saja Sydney Morning Herald. Harian terkemuka di Australia ini Kadungga sebagai sosok yang misterius bahkan punya hubungan langsung dengan Usamah bin Ladin. "Ia tinggal di Belanda, tapi bisa dengan mudah berbicara via telepon dengan petinggi PAS (Partai Agama Se-Malaysia) di Malaysia. Tak lama kemudian, ia bisa berbicara langsung dengan Usamah bin Ladin yang berada di pedalaman Afghanistan," tulis Sydney Morning Herald.

Beda lagi komentar International Crisis Center (ICG) lewat mulut koordinatornya, Sidney Jones. Lembaga yang berbasis di Brussel ini menuding profil yang satu ini sebagai penghubung internasional Jamaah Islamiyah. Lembaga yang disebut-sebut banyak pihak sebagai kepanjangan tangan intelijen ini mencatat namanya dibanyak medan konflik di seluruh dunia.

“Dia ada di Chechnya, Dagestan, Bosnia, Afghanistan, Indonesia....” Pendeknya, ia adalah orang penting dalam hubungan antargerakan Islam radikal di seluruh dunia, kira-kira begitu yang hendak disimpulkan oleh ICG.

Tapi ustadz yang ramah dan murah senyum ini tak menolak apapun yang dikatakan oleh Sidney Jones. “Dalam arti yang positif saya memang penghubung gerakan dakwah internasional. Saya bergerak dalam kebaikan, insya Allah. Tidak ada teror, tidak ada bom dan tidak pula kekerasan,” ungkapnya.

Meski darah biru sultan-sultan Bugis mengalir dalam tubuhnya, tapi ia terpaksa mengantongi kewarganegaraan Belanda. Sejarah politik dan kekuatan Orde Baru yang membuatnya memilih jalan pahit itu, meski hati kecilnya tidak mau jadi "Belanda hitam."

Kadungga menjadi salah satu musuh politik Orde Baru karena perjuangan dan dakwahnya bersama-sama M Natsir dan aktivis Dewan Dakwah lainnya. Ia pernah diinterograsi oleh seorang kolonel, namanya Utomo. Kolonel ini menuding Kadungga dan orang-orang Dewan Dakwah sebagai tokoh dan pemikir negara Islam di Indonesia.

Ihwal Kadungga aktif dalam dunia dakwah ketika usianya menginjak 13 tahun. Seusai tamat Sekolah Rakyat, orang tuanya mengirim Kadungga ke Makassar untuk bersekolah di Sekolah Menengah Islam. Di sekolah ini ia terkaget-kaget. Belum lagi setahun, ia sudah mengenal Mr Prawoto yang diundang untuk berceramah di sekolahnya. Lalu ada pula Mohamad Roem dan tokoh-tokoh besar zaman itu.

Di sekolah ini pula Kadungga untuk pertama kali berkenalan dengan organisasi yakni Pelajar Islam Indonesia (PII). Ia aktif berorganisasi dan menarik pelajaran yang luar biasa. Di sekolah ini ia merintis karir organisasinya sebagai Ketua Ranting PII. Setamat dari Sekolah Menengas Islam ia meneruskan pendidikan ke SMEA Negeri Makassar. Sekolah yang dimasukinya ternyata tidak sama dengan sekolah sebelumnya.

Di SMEA Negeri Makassar, organisasi siswa yang berkembang bukanlah PII melainkan Gerakan Siswa Nasionalis Indonesia (GSNI). Karenanya, Kadungga bersama teman-teman berjuang keras untuk mengubah sekolahnya menjadi salah satu motor PII di Makassar, dan akhirnya berhasil. Naiklah Kadungga menjadi Ketua PII di sekolah ini, didaulat teman-teman seangkatannya.

Pada tahun 1962, ia berangkat ke Medan mengikuti Kongres PII, dan kala itu ia sudah menjadi Pimpinan Cabang PII Makassar.

Perkenalannya dengan dakwah dan politik Islam kian kental setelah Kongres PII di Medan. Di PII inilah Kadungga dikader dengan baik. Konstelasi politik yang terus bergerak kala itu membuat PII menjadi salah satu organisasi pemuda yang berperan signifikan. Karena pasca pembubaran diri Masyumi, disusul dengan GPII, lalu HMI melunak sikapnya, maka tinggal PII saja yang terang-terangan menjadi musuh besar PKI.

Sebagai ilustrasi kerasnya konfrontasi PII dan PKI yang dialami Kadungga adalah peristiwa perayaan HUT PKI yang ke-40. PKI membawa bendera, long march dari Bali ke Jakarta. Pada saat yang sama, 4 Mei PII juga berulang tahun. Kota Surabaya menjadi merah saat itu, semua sudut ada tanda PKI. Mereka juga bikin menara dari bambu tinggi sekali dengan gambar palu arit. Tapi malamnya, Kadungga dan kader-kader PII bergerilya membersihkan semua atribut PKI.

Singkat cerita, aktivitas di PII mengantarkannya berkenalan dengan Adam Malik bahkan bekerja sebagai staf ahli di kementerian luar negeri zaman itu. Tapi itu pun tak lama ia jalani. Kadungga memutuskan untuk kembali menuntut ilmu dan Pakistan menjadi negara tujuan. Tapi setelah bermukim beberapa bulan di negera ini, aktivitas belajar belum bisa ia lakukan. Sebab, kondisi politik dalam negeri Pakistan sedang ricuh dan berimbas pada lembaga-lembaga pendidikan.

Mendapat kenyataan seperti itu, Kadungga mengalihkan pandangannya untuk belajar ke Eropa. Kini Belanda menjadi tujuannya. Di Eropa darah mudanya yang meluap membuat ia terus merintis jalan dakwah. Bahkan sampai-sampai, ia berhasil mendirikan gerakan mahasiswa Islam Indonesia yang bersaing ketat dengan organisasi mahasiswa Indonesia di Eropa. Tak hanya itu, ia juga berhasil mendirikan Young Muslim Asociation in Europe sebuah wadah yang menampung pemuda-pemuda Muslim di Eropa.

Setelah malang melintang akhirnya Kadungga kembali ke Indonesia. Saat kembali, salah satu kegiatannya adalah bekerja untuk dakwah di Dewan Dakwah Islam Indonesia. Kadungga yang sempat menjadi sekretaris pribadi M. Natsir ini memang punya sejarah unik. Tak lama ketika di Indonesia, pemerintahan Orde Baru dengan kegiatan intelijennya yang mencengkeram menjadikan Dewan Dakwah sebagai salah satu musuh utama. Kadungga tak luput dari itu semua.

Menjelang Sidang Umum MPR pada tahun 1974 terjadi penangkapan dan penculikan massal atas aktivis Islam. Menurut Kadungga, otak tragedi ini adalah Ali Moertopo. Kadungga bersama teman-temannya yang lain ditangkap di Bogor. Para aktivis disiksa habis-habisan dalam penangkapan ini. Ada yang disiram air kencing, ada yang dipukuli bahkan sampai ada yang trauma. Untuk menguatkan perjuangan, Kadungga memberikan taushiyah kepada teman-temannya untuk meningkatkan kesabaran dan tawakal, karena Allah selalu bersama mereka.

Waktu berlalu, akhirnya penahanan dilonggarkan. Mereka hanya dikenai tahanan kota dan wajib lapor sepekan sekali. Di saat itulah Kadungga memutuskan untuk berangkat ke Belanda dan mencari suaka politik atas perlakuan Orde Baru terhadap dirinya. Dalam kurun waktu itu pula secara semena-mena pemerintahan Orde Baru mencabut paspornya sebagai bukti warga negara. Padahal pencabutan paspor itu harus melalui pengadilan. Kadungga tidak pernah diadili maupun ditanya, langsung saja dicabut paspornya.

Saat di Eropa untuk kedua kalinya ini, panggilan jihad terdengar dari Afghanistan. Kadungga terhitung orang Indonesia pertama yang datang dari Eropa untuk masuk ke Afghanistan. Di medan jihad itulah Kadungga begitu takjub, berjuang bersama-sama dengan pemuda-pemuda Islam dari seluruh dunia.

Jejak-jejak perjalanannya di Afghanistan pula kini menjadi ujian baru untuk Kadungga. Ia dituduh terlibat sebagai kaki tangan gerakan al Qaidah. Ia juga menyandang julukan penghubung internasional Jamaah Islamiyah. Tapi apakah itu semua membuatnya surut dari jalan dakwah? Tidak.

Kadungga begitu yakin atas takdir Allah. “Tidak ada satu daun pun yang jatuh dari pohon tanpa kehendak Allah. Begitu juga dengan diri saya, tidak seorang pun, bahkan Amerika, yang bisa menyentuh kita tanpa takdir Allah,” tegasnya. Karena itu langkah kaki tak bisa mundur meski setapak dari jalan dakwah.

Karena itu pula, Abdul Wahid Kadungga, meski perawakannya kecil, namanya begitu besar sampai-sampai puluhan intelijen dikerahkan saat ia datang dari Malaysia ke Kalimantan. Sampai-sampai, Amerika sendiri merasa harus melekatkan pandangannya terus menerus pada ustadz yang satu ini. Tapi Kadungga mengatakan, ia tidak akan tunduk apalagi menyerah, karena memang ia tak pernah bersalah. “Apalagi yang saya takuti hanya Allah semata,” tandasnya.

Kisah Mujahid Mungil Melawan Raksasa Media

Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba raksasa koran Indonesia, Kompas menurunkan berita, Abdul
Wahid Kadungga termasuk dalam jajaran teroris pelaku bom Bali I, pada tanggal 23/11/2005. Dalam berita berjudul ”Noordin M Top, Target Utama Penangkapan” yang dilengkapi dengan grafis sebagian pelaku teror bom, nama Abdul Wahid Kadungga tertulis dengan jelas pada sub judul ”Bom Bali 2002” bersama nama-nama Amrozi cs. Sejak itu, nama Kadungga menghiasi media massa nasional maupun internasional selama sepekan hingga tanggal 7 Januari 2005.

Dengan sebutan sebagai pelaku Bom Bali, ia kerap dikejar-kejar oleh Detasemen Antiteror 88. Takutkah Kadungga terhadap raksasa Kompas? Ternyata tidak! Aktivis Islam bertubuh mungil yang dikenal tegas dan keras ini berontak dan melawan. Kadungga berang, karena pencantuman namanya adalah fitnah.

Tidak sedikitpun Kadungga merasa gentar menghadapi Kompas yang merupakan raksasa media di tanah air. “Saya hanya takut kepada Allah. Di depan Allah, Kompas itu kecil,” katanya mengingatkan.

Suatu gejala baru muncul, seorang yang dituduh teroris malah melawan. Selama ini umat Islam terkesan bersikap defensif menghadapi berbagai pemberitaan maupun opini publik yang menyudutkan. Tidak demikian dengan seorang Kadungga.

Selain memberi pelajaran kepada Kompas, Kadungga bermaksud menyadarkan umat Islam bahwa saat ini umat Islam jadi korban fitnah. Dan teror di belakang semua ini adalah Amerika Serikat dan Yahudi, zionis internasional.

Menurut Kadungga, sekarang adalah era kebangkitan Islam. Ketakutan Amerika dan orang-orang kafir adalah merupakan abad kebangkitan Islam, dan inilah yang ingin mereka redam. Semakin ditindas, maka umat Islam harus semakin bangkit. Umat Islam Indonesia bangkit melawan.

Walhasil, raksasa media yang bernama Kompas pun ketakutan dan buru-buru meralat pemberitaan itu sepekan kemudian, pada edisi 03/12/2005 dengan alasan terdapat kesalahan data yang sangat mengganggu. “…atas kesalahan tersebut, Kompas menyampaikan permohonan maaf,” demikian ralat Kompas.

Meski Kompas sudah meralat, hal itu tidak mengurangi tekad Kadungga untuk memberi pelajaran. Menurut aktivis bertubuh kecil namun bernyali raksasa ini, Kompas menyebut namanya dalam daftar teroris adalah by design. Oleh sebab itu, ketika Kompas menyebut pencantuman namanya sebagai sebuah kekeliruan, Kadungga menolak mentah-mentah, karena koran itu mengenal siapa dirinya.

Sekarang, sang mujahid lintas negara itu telah menutup lembaran amalnya. Semoga semangat jihad dan istiqamahnya di jalan Allah, mengilmami perjuagan kita semua. Mudah-mudahan kita dipertemukan Allah di surga-Nya. Amin.

[muslimdaily.net/voa-islam]
http://www.muslimdaily.net/artikel/ringan/4651/abdul-wahid-kadunggasang-mujahid-lintas-negara-itu-tutup-usia

Anjing bukan penyaliban

Anjing bukan penyaliban

by Khatholik Orthodox on Saturday, 30 January 2010 at 01:26
Pope John Paul II mencium Alquran. Vatikan, May 14, 1999
Sasaran yang paling penting tidak segera ditetapkan. Dan itu bukan kecelakaan. Hit sekali tidak mungkin, karena itu milik daerah sakral. Untuk bola, yang normal, masyarakat yang sehat selalu dilindungi terutama cemburu. Untuk menghentikan orang-orang untuk melindungi tempat suci mereka, untuk menginfeksi mereka dengan racun acuh tak acuh, acuh tak acuh. Untuk melakukan hal ini, dan informasi ini diciptakan senjata sebagai kebenaran politis. Jika orang berkata: "Naplyuyte yang kudus! Makan, minum, menjadi gembira, karena besok kita mati ", bahwa tidak semua akan diikuti oleh permohonan ini. Dan orang-orang yang akan mengikuti, sebagai suatu peraturan, dan tidak ada banding telah tinggal di sekitar jalan ini dan tidak ada keturunannya tidak akan melindungi kuil. Tidak ada senjata yang disebut "kebenaran politik" tidak diciptakan untuk mereka. Ini adalah untuk orang-orang dengan lanjutan "naik" berkomitmen untuk cita-cita tinggi, memiliki hati yang sensitif. Orang-orang ini ingin menjadi baik, toleran, penuh belas kasihan. Mereka tidak mau menyinggung siapa pun, sebaliknya - sangat ingin menjadi teladan Kristen. Tertarik oleh sikap manusiawi terhadap para penyandang cacat dan orang kulit hitam, mereka adalah sesuatu dan jatuh ke dalam perangkap kebenaran politik, yang hanya mengatakan kepada mereka yang diduga jalan yang benar, yang menawarkan jauh lebih benar, kata-kata netral. Kata-kata, tidak melukai yang sudah terluka bagiannya.


Tetapi karena kata ini tak terpisahkan dari makna, makna melunak dan dilambangkan fenomena. Jangan jatuh, bukan wanita publik, bukan pelacur, pekerja seks. Atau bahkan ngengat. Melunak dan sikap untuk itu: bagaimana untuk menilai ngengat? Ini begitu indah, romantis, tidak bersalah! Tapi memori dari sesuatu yang memberitahu kita apa yang dilakukannya, ini kupu-kupu. Dan seperti yang disebut baru-baru ini, terlalu sulit untuk melupakan. Salah satunya adalah tindih lain, wajah, menyebabkan perasaan campur aduk ... Tidak, lebih baik tidak berpikir tentang hal ini. Misalkan bahwa bagaimanapun sangat ... Putriku (istri, ibu), untungnya, tidak prostitusi ... itulah, bukan ngengat. Singkatnya, ini bukan tentang kita. Jadi biarkan mereka hidup, mereka tahu, dan disebut sebagai mereka suka.


Suspensi bersebelahan dengan pendinginan. Ketika suspensi ini banyak, maka satu kali teplohladnost pendinginan menjadi kronis. Dan itu, teplohladnost ini, namun secara moral mendukung, memberikan dosa chelovekougodiya untuk Kristen sejati cinta. Dan bertahap, orang terbiasa untuk tetap diam tentang apa yang ia, sebagai seorang Kristen, tidak boleh diam. Terbiasa dengan transaksi yang sama dan baris berikut. Selain itu, serangan terhadap suci Kristen tempat, juga, adalah Jesuitically-halus - dalam bentuk cinta untuk orang-orang.


"Di beberapa paroki, - menulis pada awal tahun 60-ies Kardinal Katolik Lefebvre, menyatakan ketidaksetujuan mereka dengan awal modernisasi Gereja Katolik - untuk orang tua, mempersiapkan anak-anak untuk komuni pertama, tidak merekomendasikan pemasangan salib pada anak," agar tidak melukai mereka, " tapi menawarkan untuk menggantinya dengan "gambar, mudah dipahami untuk usia mereka, misalnya, seekor anjing sebagai simbol kesetiaan" - gambar yang mereka menjadi orang dewasa, akan menemukan di dalam katekismus, yang bukan kata tentang penyaliban Kristus. "


Dalam mencari kata-kata baru teolog Katolik Perancis pergi sejauh bahwa di dalam doa Tuhan dalam baptisan, bukannya «Que Ta volonte soit faite» ( «Mu akan dilakukan") menawarkan «Que soit volonte perayaan Ta» ( «Mu akan dilakukan hari libur) . Teologi ini penghapusan salib, dalam penderitaan tipu. Kita melihat bahwa pilihan kata-kata yang begitu yakin untuk menyenangkan orang dengan psikologi modern. Hal ini tidak berbicara tentang penebusan, tetapi tentang "pembebasan", dengan semua kata itu mengandung dalam ambiguitas. Beberapa menyatakan bahwa bahasa Kristus, berbicara tentang ayahnya, tidak dapat diterima oleh orang-orang yang akrab dengan Freud: "Kata-kata dari Bapa dan Anak Allah sudah tidak memadai, kata Yesus. Berbicara tentang Tuhan, kita harus berbicara tentang sumber kehidupan dan tidak menggunakan kata "ayah" ....


Dan lebih lanjut: "Kami telah sebelum kami humanisme mesianis di mana Allah dibubarkan pada kemanusiaan. Ini adalah batas-batas kabur mengerikan terang dan gelap tidak bisa, tentu saja, tidak menimbulkan kecemasan yang terbakar di antara banyak orang Katolik. Dalam mabuk buku, "Gereja misionaris dan demissionerskaya" Andre Pettr wrote: "Ini bukan berbicara tentang mukjizat penebusan, pada Ekaristi, Prisnodevstve, tentang doa, tentang kasih karunia, dosa ... tetapi dialog, kebebasan, kegembiraan, cinta dll Singkatnya, menyangkal keheningan "(Marcel Lefebvre, Uskup Agung. Mereka telah mengkhianati dirinya: dari liberalisme kepada kemurtadan. SpB.:" Vladimir Dal ', 2007. P. 8-10).


Lefebvre panggilan untuk berhenti pergi diabaikan. Sebaliknya, setelah Vatikan II "contemporization" Gereja Katolik mulai mendapatkan momentum, dan keras kepala "mundur" Vatikan akhirnya dihukum ekskomunikasi.


Dan 30 tahun kemudian, seorang politikus Amerika terkemuka Patrick Buchanan berkata dalam bukunya "Kematian Barat lebih lanjut proses kreatif dari teks-teks suci. "Strings" Putih seperti salju, Tuhan, membuat saya ... "dari nyanyian" Semua di tangan-Mu Tuhan "sering dinyanyikan sebagai" Bersihkanlah aku, Tuhan, mencuci. Jelas, ungkapan "putih seperti salju" memiliki nada rasis. Banding "Bapa, Anak dan Roh Kudus" sekarang diganti dengan "Pencipta, Penebus dan Dukungan", yang membuat ungkapan lebih netral dari perspektif jender. Tapi New York Gereja Riverside lebih suka diperlakukan: "Bapa, Anak dan Roh Kudus, Satu Tuhan, Bunda fana." Himne "Teruskan, prajurit Kristus" dan "Aku seorang prajurit salib" ditolak karena terlalu suka berperang. Himne "Dia membawa saya" dan "Allah, Bapa dari orang-orang" diakui chauvinis. Himne "Ya Tuhan memberi istirahat kepada Anda" juga tidak dapat diterima. Madah "Iman Bapa kita" adalah terus-menerus dikritik. Mereka yang seperti melodi, tetapi tidak seperti kata, dapat menggantikan "ibu" atau "nenek moyang" bukan "ayah '" (Buchanan P. Kematian Barat. Moskow: AST, 2003. P. 262).


Dan di bawah ini. Dari yang disebutkan di atas buku, SG Kara-Murza. "Hari ini kita melihat bagaimana modernisasi menghancurkan benteng terakhir bahasa, menjaga perasaan tua, - Gereja. Selain itu, para imam dari pelayanan bahkan di pakaian mulai berbicara cukup "benar" bahasa, sebagai wartawan atau politisi. Modernisasi adalah teks-teks suci. Tindakan di bidang ini - seluruh program. Memulai edisi baru dari Alkitab dengan "modern" bahasa di Britania, dengan sirkulasi dari 10 juta eksemplar. Teolog sekolah lama menyebutnya "modern, tetapi tanpa kasih karunia" (gagasan tentang kasih karunia dari ditarik dan digantikan oleh "keuntungan yang tidak patut"). Dibersihkan dari Alkitab dan konsep penebusan dan pertobatan. Dan, akhirnya, kunci bagi orang Kristen, kata "penyaliban" diganti "pribivaniem kepada salib." Stuffed mendalam arti kata dan frase, diasah lebih dari dua ribu tahun pemikiran Kristen, digantikan oleh "lebih dimengerti". Sebagai Archdeacon York, Alkitab itu seperti serial TV, tapi kehilangan isi suci.


Kami benar-benar tidak bicara tentang politik oportunistik vulgar dan sensor dari Kitab Suci. Baru-baru ini, Amerika Serikat mulai pindah ke yang baru, "politically correct" terjemahan Alkitab, dari yang mengecualikan menyebutkan fakta bahwa Kristus disalibkan oleh orang Yahudi. Dia seharusnya disalibkan, tetapi siapa dan mengapa - tidak masalah. Ini - untuk menghapus dari Injil "anti-Semitisme. Agar tidak menyinggung feminis, mengubah konsep Allah Bapa (dia sekarang Tuhan-ayah-ibu), sehingga runtuh seluruh esensi dari Trinitas. Diperkenalkan dan banyak lain yang serupa "demokratis" berubah "(Kara-SG Murza Manipulasi kesadaran. MM:" Algoritma ", 2000. P. 91).


Ya, licik, iblis diciptakan senjata bogobortsy! Mereka akan panik untuk menghancurkan Gereja, tetapi kata-kata mereka tidak berani untuk mengatakan. Jika tidak, Anda tidak hanya akan dinyatakan secara politik tidak benar, tapi berhati dingin dan jahat. Dimulai politically correct "serangan" dan Gereja Ortodoks Rusia. Belum lama lalu, yang Anti-Defamation League menuduhnya "dalam penggunaan anti-Semit bagian dalam liturgi." Ini bukan sebuah rasa ingin tahu atau kesalahpahaman, dan ujian pertama. Untuk meletakkannya di militer, intelijen pertempuran.


"Tapi hakim benar ..."


Dalam kaitan dengan politik kebenaran, adalah penting untuk mempertimbangkan masalah kutukan, yang begitu hangat dan Ortodoks lingkungan. Bagaimanapun, pada kenyataannya, orang Kristen tidak boleh mengutuk, kutukan - adalah dosa. Hampir semua buku tentang kehidupan rohani Anda dapat menemukan kutipan yang mendukung ide ini. Itu baru satu. St Tikhon Zadonsky: "Bila Anda melihat bahwa kejahatan di tetangga Anda, yang menangkap dalam keheningan mulut Anda, dan tentang dirinya vozdohni kepada Tuhan, tapi untuk memperbaikinya, dan diri mereka sendiri, berdoa, bahwa dalam cacat yang sama tidak akan jatuh, karena kita - yang lemah, dan kita bisa terjadi yang sama atau bahkan lebih buruk lagi. "


Tapi, tentu saja, argumen utama terhadap keyakinan - bahwa Juruselamat kata-kata: "Jangan kamu menghakimi kamu tidak dihakimi" (Matius 7: 1). Namun, kemudian dalam Injil yang sama Matius, Tuhan secara tegas memerintahkan kita untuk mengekspos saudara berdosa (lihat: Mat. 18: 15-17). Dan ia sendiri kadang-kadang menyatakan sangat tidak memihak: "orang-orang munafik", "anak kebinasaan", "Sebuah generasi yang jahat dan tidak setia" ...


Seorang St John the Baptist? "Wahai generasi ular beludak! - Dia berpaling kepada orang-orang Farisi dan Saduki. - Siapa yang memperingatkan Anda untuk melarikan diri dari murka yang akan datang? "(Matius 3: 7). Dia tidak takut untuk mengekspos bahkan Raja Herodes, sehingga ia dibayar dengan kepalanya.


Dan banyak orang kudus Kristen tidak selalu menunjukkan kebenaran politik. PriestMartyr Afinogen, marah atas penangkapan monastik persaudaraan, datang ke kota hakim, ia mulai berteriak keras: "Mengapa kamu menipu saya, penyiksa, merusak gereja saya? Biarkan Allah melihat perbuatan jahat yang dilakukan oleh Anda, dan biarkan dia jatuh ke amarahnya pada Anda! "Dan ketika hegemon Filomarh mencoba memaksanya untuk mempersembahkan korban kepada berhala-berhala, suci mengatakan kepadanya, terus terang saja, tidak begitu sopan:" The penyiksa ilegal, anjing yang sangat lusuh dan tak tahu malu! Jangan menakuti kita dengan ancaman, melakukan apa yang Anda inginkan: kita siap menanggung semua bagi Allah kita. " Jangan berdiri di upacara dengan para penyiksanya dan Martir Marina: "The jelek anjing! Babi! Anda memakan daging manusia "- itu adalah apa yang ia mendengar kabar darinya. Dan martir Christine pangeran, yang menyiksa, yang disebut fasik, dan ayahnya - seorang hamba Setan.


Kesimpulan apa yang bisa kita lakukan? Dipecahkan apakah kontradiksi ini? Sami tidak berani untuk membiarkan dia untuk mencari bantuan dari ayah pencerahan rohani.


Santo Basil Agung menulis: "Karena kadang-kadang Tuhan mengatakan:" Jangan kamu menghakimi dengan penampilan, dan kadang-kadang perintah: tapi menghakimi orang benar "(Yohanes 7: 24), itu tidak melarang kita untuk menghakimi, tapi hal itu menunjukkan perbedaan pengadilan ... Oleh karena itu, Kalau itu tergantung pada kehendak kita, dan bahkan kadang-kadang terjadi dan tidak diketahui, karena kita tidak boleh mengutuk saudaraku, apa yang dikatakan oleh Rasul yang tidak diketahui: "Oleh karena itu hakim tidak apa-apa sebelum waktu, sampai Tuhan datang, yang juga menerangkan hal-hal yang tersembunyi kegelapan dan menemukan niat tulus "(1 Kor. 4: 5). Tetapi untuk melindungi pengadilan Allah - tak terbantahkan perlu tetap diam sebagian besar tidak akan merasakan murka Allah "(St. Basilius Agung, St. Alphabet rohani. MM: The Orthodox Persaudaraan Suci Teolog Rasul Yohanes, 2006. Pp 322-333).


Sejarah Konsili Ekumenis, kehidupan orang-orang kudus dan pada umumnya akut peperangan rohani, belum berhenti sejak kedatangan Juruselamat di dunia, kami menggambarkan pelajaran ini. Sebagai contoh, sebagai lawan dari serikat Brest pada tahun 1596 pendeta yang setia dari Gereja Ortodoks. John Vyshenskii, penduduk asli di Lvov kapal Vyšné, tinggal di Gunung Athos, telah mengirim pesan inspirasi bangsanya. Raja Sigismund III, yang berjuang dengan Ortodoks dan segala sesuatu untuk memfasilitasi penguatan Uniates, ia disebut "setan di mahkota". Dan dalam Surat kepada para uskup, yang menarik diri dari Gereja Ortodoks, menulis: "Mengapa nama Kristen berani tanpa malu-malu menyebut diri mereka, jika kehormatan untuk nama ini tidak dihormati? .. Sialan kau, (Uniat) Tuanku, Arkimandrit, abbas, yang menghancurkan (Ortodoks) biara-biara dan membuat mereka keluar dari tempat-tempat suci dari perkebunan itu sendiri dengan teman dan pelayan menghabiskannya cabul dan kehidupan hewan, berbaring di tempat-tempat suci ... dan tidak ada biarawan di biara-biara kehidupan, tidak ada nyanyian dan doa, lolongan anjing "(N. Brest Hayduk serikat pada 1596. Minsk: Ortodoks persaudaraan dalam nama malaikat Michael, 1996. hal 68). St Athanasius dari serikat mengutuk Brest bahkan sebelum kematiannya, berdiri di tepi makam yang digali untuknya. Seperti yang kita lihat, kebenaran politik bahkan tidak ada bau.


Sesuai dengan penalaran Basil Agung dan Santo Yohanes Krisostomus. Menjelaskan Tuhan berkata: "Hakim tidak kamu tidak dihakimi", ia berkata bahwa Juruselamat adalah tidak semua dan untuk semua larangan untuk menilai, tetapi hanya jika orang yang sedang dieksekusi dosa-dosa yang tak terhitung jumlahnya dan menyalahkan yang lain untuk pelanggaran tidak signifikan. Penalaran ini memimpin dalam karyanya "absolusi dan imajiner kasih dan pengampunan" Uskup Agung Averky (Taushev), dalam kenyataannya, kontemporer kita. Setelah melihat kengerian kafir revolusi berdarah di Rusia, dan kemudian kami tiba di Barat dan yakin bahwa demokrasi liberal-ideologi, dan menghasilkan Tuhan melawan kudeta merangkak, ia juga menyadari betapa totalitarianisme penuh dengan dosa di dalam khotbah hari ini dari total non-kutukan.


Dia meniru Kristus, orang di belakang itu - salib dekat altar Basilika St John di Berlin. Aula ini dihadiri oleh para kardinal Katolik Roma, 2004
Dia meniru Kristus, orang di belakang itu - salib dekat altar Basilika St John di Berlin. Aula ini dihadiri oleh para kardinal Katolik Roma, 2004
"Dan sekarang, di kami yang berpengalaman sinis mengerikan kali ateisme galak dan jujur, kita, sebagai orang Kristen, yang setia Kristus Juruselamat dan Gereja-Nya yang sejati, tidak bisa tidak tegas mengutuk ateis, dan pencela, keras mencari untuk membasmi bogobortsev dunia iman Kristus dan menghancurkan Gereja yang kudus, dinodai Tanah dan kemarahan kami atas tempat-tempat suci kita ... Harus baik untuk tahu dan ingat bahwa cara tersebut cukup asing bagi berbahaya Kekristenan sejati ajaran Tolstoy perlawanan tanpa kekerasan kepada kejahatan (kebetulan, menghancurkan negara kami yang tidak bahagia, Rusia, dan yang membawanya berdarah yang mengerikan kengerian Bolshevisme! ): setiap orang Kristen sejati tidak dapat didamaikan kepada kejahatan, dimanapun dan kepada siapa ia tidak melihat dia "- menulis Averky Uskup Agung.


Dan lebih lanjut: "Kami mengutuk hamba kedatangan Antikristus dan Antikristus. Apakah semua ini adalah kutukan dosa, dilarang oleh Injil, seperti mencoba meyakinkan kita dalam neohristiane modern ini pintar, penuh dengan beberapa tidak biasa dan inklusif sverhlyubvi pengampunan? "


Uskup Agung yang Averky menulis tentang manfaat dari pemaaf seperti: "Hanya satu dan tidak akan mengutuk - mood Kristen saat ini masyarakat, dan hanya ingin membuat hamba kedatangan Antikristus ke lapang dan luas itu untuk bertindak, menyiapkan lingkungan dunia kondusif bagi aksesi cepat penguasa mereka. Apakah hari ini setiap jujur dan Kristen sadar mungkin belum menjadi jelas bahwa pengampunan tanpa syarat hanya perlu musuh Kristus, Antikristus, sehingga semua orang kehilangan rasa membedakan antara yang baik dan jahat, diperdamaikan dengan kejahatan, dengan suka rela menerimanya, dan kemudian sebagian besar Antikristus, tidak berpikir tentang berjuang dengan dia? "(lihat:http://www.pravmir.ru/article_298.html).


Hal yang sama juga mengatakan dalam tahun 1925, dan Ivan Ilyin: "Jika aku tidak ikut campur, berikan kebebasan untuk menghancurkan roh jahat dan kutukan, saya terlibat dalam kekejaman. Mana kebaikan membuang diinjak-injak binatang buas (lihat: Mat. 7: 6), ada badai yang dibutuhkan, ketakutan, pedang dan penderitaan. Dan jangan bicara dengan jahat atau tidak ya tidak ada - lalu katakan padanya 'ya', jadi tidak bersembunyi menunggu, dan akan membuat, karena dikhianati diam adalah Allah "(lihat: New Century. 2006. № 3 (36).


Posisi yang sama ini telah mengkonfirmasi beberapa tahun yang lalu, dan Patriark Bapa Suci Alexy II, berbicara tentang perlunya untuk secara aktif memerangi korupsi anak-anak dan kaum muda: "Jika kita tetap diam, kita hanya menghancurkan.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Dog instead of crucifixion


Pope John Paul II kisses the Koran. Vatican, May 14, 1999
Pope John Paul II kisses the Koran. Vatican, May 14, 1999
The most important target was designated not immediately. And it is no accident. Hit it once was impossible, because it belonged to the sacral area. For the sphere, which is normal, healthy society is always protected especially jealous. To stop people to protect their sacred sites, to infect them with the poison of indifference, indifference. To do this, and this information was invented weapons as political correctness. If people said: "Naplyuyte its sanctuary! Eat, drink, be merry, for tomorrow we die ", that not all would be followed by this appeal. And those who would follow, as a rule, and no appeals have lived around this way and no offspring were not going to protect the shrines. No weapon called "political correctness" not invented for them. It is for people with advanced "riding" committed to high ideals, have a sensitive heart. These people want to be good, tolerant, merciful. They do not want to offend anyone, on the contrary - very much want to be exemplary Christians. Attracted by a humane attitude towards the disabled and blacks, they are something and fall into the trap of political correctness, which just tells them the alleged right path, offering a much more correct, neutral words. Words, not injuring the already injured his share.


But because the word is inseparable from the meaning, the meaning softened and denoted phenomenon. Do not fallen, not a public woman, not a prostitute, a sex worker. Or even a moth. Soften and attitude to it: how to judge a moth? It's so beautiful, romantic, innocent! But the memory of something tells us what it does, this butterfly. And as it was called recently, too hard to just forget. One is superimposed on another, faces, causing mixed feelings ... No, better not think about it. Suppose that it is somehow very ... My daughter (wife, mother), fortunately, not prostitution ... that is, not a moth. In short, it's not about us. So let them live, they know, and are called as they like.


Suspension is adjacent to the cooling. When this suspension a lot, then a one-time cooling becomes chronic teplohladnost. And it, this teplohladnost, yet morally supportive, giving sin chelovekougodiya for true Christian love. And gradually, people get used to keep silent about what he, as a Christian, should not be silent. Accustomed to the same deals and the following lines. Moreover, the attack on the Christian holy places, too, is Jesuitically-subtly - in the guise of love for people.


"In some parishes, - wrote in the early 60-ies Catholic Cardinal Lefebvre, expressing their disagreement with the beginning of modernization of the Catholic Church - to parents, preparing children for first communion, does not recommend placing a crucifix in a child," so as not to traumatize them, " but offered to replace it with "image, easy to understand for their age, for example, a dog as a symbol of fidelity" - the image that they become adults, will find in the catechism, which is not a word about the crucifixion of Christ. "


In search of new words French Catholic theologians go so far as that in prayer the Lord in baptism, instead of «Que Ta volonte soit faite» ( «Thy will be done") offer «Que Ta volonte soit fete» ( «Thy will be done holiday) . This theology of the abolition of the cross, in circumvention of suffering. We see that the choice of words is so sure to please the man with modern psychology. It is not talking about redemption, but about "liberation", with all that that word contains in its ambiguity. Some claim that the language of Christ, speaking of his father, can not be acceptable to people familiar with Freud: "The words of the Father and the Son of God is already inadequate, said Jesus. Speaking of God, we should speak about the source of life and do not use the word "father" ....


And further: "We have before us a messianic humanism where God was dissolved in humanity. This is a terrible blur boundaries of light and darkness can not, of course, does not cause a burning anxiety among many Catholics. In a sober book, "The Church missionary and demissionerskaya" Andre Pettr wrote: "It is not talking about the miracle of redemption, on the Eucharist, the Prisnodevstve, about prayer, about grace, sin ... but the dialogue, the freedom, of joy, love etc. In short, deny the silence "(Marcel Lefebvre, Archbishop. They have betrayed him: from liberalism to apostasy. SPb.:" Vladimir Dal ', 2007. P. 8-10).


Lefebvre calls to stop went unheeded. On the contrary, after Vatican II "contemporization" the Catholic Church began to gain momentum, and the obstinate "retrograde" the Vatican finally punished excommunication.


And 30 years later, a prominent American politician Patrick Buchanan said in his book "Death of the West of further creative processing of the sacred texts. "Strings" White as snow, Lord, make me ... "from the hymn" All in the hands of thy God "is often sung as" Wash me, Lord, wash. Obviously, the phrase "white as snow" has a racist undertone. Appeal "Father, Son and Holy Spirit" is now replaced with "Creator, Redeemer and Support", which makes the phrase more neutral from a gender perspective. But New York's Riverside Church prefers to be treated: "Father, Son and Holy Spirit, One God, Mother of the mortal." Hymns "Forward, soldiers of Christ" and "I am a soldier of the cross" rejected as too bellicose. Hymns "He led me" and "God, the Father of the people" recognized chauvinist. Hymn "Yes Lord give rest to you" is also unacceptable. Hymn "Faith of our Fathers" is constantly criticized. Those who like the melody, but do not like the word, can substitute "mothers" or "ancestors" instead of "fathers'" (Buchanan P. Death of the West. Moscow: AST, 2003. P. 262).


And on the bottom of this. From the above-mentioned book, SG Kara-Murza. "Today we see how modernization demolishes the last bastion of language, preserving the old sense, - the Church. Moreover, the priests out of service even in the garb began to speak quite "correct" language, as journalists or politicians. Modernization are sacred texts. Actions in this area - the entire program. Embarking on a new edition of the Bible with "modern" language in Britain, with a circulation of 10 million copies. Theologians of the old school called it "modern, but without grace" (the notion of grace from her withdrawn and replaced by an "undeserved benefits"). Purged from the Bible and the concept of atonement and repentance. And, finally, the key for the Christians, the word "crucifixion" replaced "pribivaniem to the cross." Stuffed deep-seated sense of words and phrases, honed over two thousand years of Christian thought, replaced by "more understandable". As Archdeacon York, the Bible was like a TV series, but lost its sacred contents.


We really do not talk about vulgar and opportunistic political censorship of the Holy Scriptures. Recently, the United States began to move to a new, "politically correct" translation of the Bible, from which exclude mention of the fact that Christ was crucified by the Jews. He was supposedly crucified, but whom and why - does not matter. This - to remove from the Gospel of "anti-Semitism. In order not to offend feminists, changed the concept of God the Father (he is now God-father-mother), so that collapses the whole essence of the Trinity. Introduced and many other similar "democratic" changes "(Kara-Murza SG Manipulation of consciousness. MM:" Algorithm ", 2000. P. 91).


Yes, an insidious, devilish weapons invented bogobortsy! They will frantically to destroy the Church, but their words do not dare to say. Otherwise, you'll not only declared politically incorrect, but a heartless and evil. Begins politically correct "assaults" and the Russian Orthodox Church. Not so long ago, the Anti-Defamation League accused her "in the use of anti-Semitic passages in the liturgy." This is not a curiosity or a misunderstanding, and the first test. To put it in the military, intelligence battle.


"But judge righteous ..."


In connection with political correctness, it is important to consider the subject of condemnation, which is so topical and Orthodox environment. After all, in fact, Christians should not condemn, condemnation - is a sin. Almost any book about the spiritual life you can find quotations supporting this idea. That's just one. St. Tikhon Zadonsky: "When you see that evil in your neighbor, that captures your mouth in silence, and about him vozdohni to the Lord, but to fix it, and themselves, pray, that in the same defect will not fall, because we - the infirm, and us can happen the same or even worse. "


But, of course, the main argument against the conviction - that the Savior's words: "Do not judge ye be not judged" (Matt. 7: 1). However, later in the same Gospel of Matthew, the Lord expressly commands us to expose sinned brother (see: Mt. 18: 15-17). And he himself sometimes expressed very impartially: "hypocrites", "son of perdition", "An evil and adulterous generation" ...


A St. John the Baptist? "O generation of vipers! - He turned to the Pharisees and the Sadducees. - Who warned you to flee from the wrath to come? "(Matthew 3: 7). He was not afraid to expose even King Herod, for which he paid with his head.


And many Christian saints are not always demonstrated political correctness. PriestMartyr Afinogen, indignant at the arrest of the monastic brotherhood, coming to a city a judge, he began to shout loudly: "Why do you rob me, tormentor, spoil my church? Let God sees an evil deed committed by you, and let him fall to his anger at you! "And when the hegemon Filomarh tried to force him to sacrifice to the idols, sacred told him, quite frankly, not very politely:" The torturer illegal, dog very shabby and shameless! Do not scare us with threats, do what you want: we are ready to endure all for our God. " Do not stand on ceremony with his tormentors and Martyr Marina: "The ugly dog! Pig! You devour human flesh "- that is what he heard from her. And martyr Christine prince, who tormented her, called the impious, and his father - a servant of Satan.


What conclusion can we do? Solved whether this contradiction? Sami did not dare to allow him to seek the assistance of the spiritually enlightened fathers.


St. Basil the Great writes: "Because the Lord sometimes says:" Do not judge by appearances, and sometimes commands: but judge righteous "(John 7: 24), it does not prohibit us to judge, but it shows the difference of the court ... Therefore, If that depends on our will, and sometimes even happens and unknown, for we must not condemn my brother, what was said by the Apostle of the unknown: "Therefore do not judge nothing before the time, until the Lord comes, who also illuminate the hidden things of darkness and discover heartfelt intentions "(1 Cor. 4: 5). But to protect the courts of God - indisputable need to remain silent most will not taste the wrath of God "(St. Basil the Great, St.. Alphabet spiritual. MM: The Orthodox Brotherhood of the Holy Apostle John the Theologian, 2006. Pp 322-333).


History of the Ecumenical Councils, the lives of the saints and in general acute spiritual warfare, has not ceased since the arrival of the Savior in the world, we illustrate this lesson. For example, as opposed to the Brest union in 1596 the faithful pastors of the Orthodox Church. John Vyshenskii, a native of Ship Vyšné at Lvov, lived on Mount Athos, had sent his countrymen inspiring messages. King Sigismund III, who fought with the Orthodox and everything to facilitate the strengthening of Uniates, he called the "devil in the crown". And in the Epistle to the bishops, who withdrew from Orthodoxy, wrote: "Why the name of Christian shamelessly dare to call themselves, if the honor of this name is not respected? .. Damn you, (Uniate) lord, Archimandrite, abbots, which devastated the (Orthodox) monasteries and made them out of the holy places of the estates themselves with friends and servants spend it lewd and animal life, reclining on the holy places ... and there is no monk in the monasteries life, no singing and prayers, howling dogs "(Hayduk N. Brest union in 1596. Minsk: Orthodox brotherhood in the name of Archangel Michael, 1996. p. 68). St. Athanasius of Brest cursed union even before his death, standing on the edge of the excavated tomb for him. As we see, political correctness there is not even smell.


In accordance with the reasoning Basil the Great and St. John Chrysostom. Explaining the Lord saying: "Judge not ye be not judged", he said that the Savior is not all and for all bans to judge, but only if the person being executed countless sins and blames the other for insignificant offenses. This reasoning leads in his work "absolution and imaginary Christian love and forgiveness" Averky archbishop (Taushev), in fact, our contemporary. Having seen the horrors of the bloody godless revolution in Russia, and then we came to the West and convinced that the liberal Democratic ideology and it makes God-fighting creeping coup, he was well aware of how totalitarianism fraught with sin in today's sermon total non-condemnation.


She imitates Christ, the man behind it - the crucifix near the altar of the basilica of St. John in Berlin. The hall was attended by Roman Catholic cardinals, 2004
She imitates Christ, the man behind it - the crucifix near the altar of the basilica of St. John in Berlin. The hall was attended by Roman Catholic cardinals, 2004
"And now, in our experienced terrible times cynical fierce and frank atheism, we, as Christians, the faithful of Christ the Savior and His true Church, can not but condemn forcefully atheists, and scoffer, fierce bogobortsev seeking to eradicate world the faith of Christ and destroy the holy Church, desecrated our Fatherland and outrage over our holy places ... It should be good to know and remember that it was quite alien to true Christianity noxious Tolstoy's doctrine of nonviolent resistance to evil (incidentally, ruin our unhappy country, Russia, and which brought her the terrible bloody horrors of Bolshevism! ): any true Christian can not be reconciled to evil, wherever and in whom he had not seen him "- writes the Archbishop Averky.


And further: "We condemn the servants of the coming of the Antichrist and the Antichrist. Is all of this is the condemnation of sin, forbidden by the gospel, as trying to convince us in this modern-neohristiane clever, filled with some unusual sverhlyubvi and inclusive pardon? "


Archbishop Averky writes about who benefits from such a forgiving: "Just one and would not condemn - the mood in today's Christian society, and only want to make the servants of the coming of the Antichrist to his airy and spacious it was to act, preparing the world's environment conducive to the speedy accession of their ruler. Is today every honest and conscious Christian may not yet be clear that unconditional forgiveness need only the enemy of Christ, the Antichrist, so that people lost all sense of distinguishing between good and evil, reconciled to the evil, willingly accepted it, and then most of the Antichrist, not thinking about the fight with him? "(see:http://www.pravmir.ru/article_298.html).


The same was said in 1925, and Ivan Ilyin: "If I'm not interfering, give freedom to destroy malevolent spirit and curse, I am complicit in his atrocities. Where wasting goodness trampled ferocious animals (see: Mt. 7: 6), there needed storm, fear, the sword and suffering. And do not talk to evil neither yes nor no - then tell him 'yes', so hiding is not waiting, and shall make, because silence is betrayed God "(see: New Century. 2006. № 3 (36).


This same position has confirmed a few years ago, and His Holiness Patriarch Alexy II, speaking about the need to actively combat the corruption of children and young people: "If we remain silent, we simply destroy.


shalom Sionggie, & Johny
http://www.facebook.com/pages/Khatholik-Orthodox/160170814610

zondag 17 oktober 2010

Artikel Nini Anteh (1)

http://tradisidongeng.blogspot.com/2008/09/artikel-nini-anteh-1.html


NINI ANTEH DALAM PERSPEKTIF VON DANIKEN

Oleh: Taufik Ampera


Nini Anteh adalah salah satu dongeng Sunda yang mengisahkan bahwa bercak hitam yang tampak pada permukaan bulan purnama adalah seorang nenek yang tiada henti-hentinya menenun. Nenek itu disebut Nini Anteh karena ia kelihatan sedang memintal benang kantih. Selama menenun, Nini Anteh selalu ditemani oleh seekor kucing kesayangannya yang bernama Candramawat. Kain hasil tenunannya itu bila telah selesai akan diberikan kepada aki yang sedang menyadap di bumi.
Sebagai sebuah sastra lisan, hal yang menarik dikemukakan lewat cerita Nini Anteh adalah fungsi cerita tersebut bagi masyarakat pendukungnya. Maka yang perlu diungkapkan adalah fungsi cerita itu.
Dongeng Nini Anteh merupakan cerita yang mengisahkan tentang penjelajahan manusia bumi ke ruang angkasa. Di samping cerita tersebut, dalam khazanah sastra Sunda terdapat pula cerita lain yang menuturkan kisah perjalanan manusia bumi di ruang angkasa, misalnya saja Mundinglaya Di Kusumah dalam cerita pantun Mundinglaya Di Kusumah dan Jaka Sabeulah dalam cerita Sri Sedana. Cerita-cerita tersebut memperlihatkan dengan tegas bahwa karya sastra buhun (sastra lisan) memiliki hubungan yang erat dengan fenomena ruang angkasa. Sastra lisan banyak mengungkap fenomena alam termasuk kehidupan ruang angkasa. Dalam sastra lisan itu pun banyak mengisahkan tentang makhluk ruang angkasa, seperti bidadari dan peri.
Melalui sudat pandang penelitian ruang angkasa, bidadari atau putri kerajaan langit merupakan para astronaut wanita dari planet lain. Hipotesis itu berlandaskan pada suatu teori yang dikemukakan oleh Erick von Daniken dalam bukunya Erinnerungen and die zukunft ‘Kenangan Akan Masa Depan’ (1968) dan Zuruck zu den Sterken ‘Kembali ke Bintang-Bintang’ (1969). Kedua buku tersebut bayak mengulas tentang makhluk ruang angkasa. Melalui kedua bukunya itu, von Daniken mencoba merumuskan suatu teori yang selanjutnya dikenal dengan Teori Astronaut. Dalam teori tersebut, sastra lisan dapat dianggap sebagai “saksi zaman” atau “pencatat sejarah”, karena pemiliknya mempercayai kebenarannya, kadang-kadang juga dianggap suci, maka cerita-cerita demikian dapat digolongkan ke dalam cerita legenda atau mite.
Menurut von Daniken, kehadiran makhluk ruang angkasa atau para astronaut dari planet lain di bumi ini tidak hanya diabadikan dalam bentuk legenda, mitologi, dan dongeng saja, tetapi diabadikan pula dalam lukisan-lukisan di dinding gua, keramik-keramik tua, dan media lainnya. Bukti nyata seperti lukisan yang ditemukan di Tassili, Sahara, bagian Libia dan lukisan di Val Camonica, Italia. Masyarakat Tassili mengenal tokoh ruang angkasa yang dinamakan sebagai Dewa Mars yang memiliki tanduk. Tanduk tersebut mengingatkan orang pada antene yang mencuat pada penutup kepala para astronaut.


Nini Anteh: Astronaut Sunda
Dongeng Nini Anteh bukan merupakan cerita bidadari, artinya Nini Anteh bukan astronaut perempuan dari planet lain yang turun ke bumi, melainkan Nini Anteh merupakan manusia bumi yang berhasil menjelajahi ruang angkasa dan berhasil pula mendarat di bulan, bahkan untuk selamanya Nini Anteh menetap di bulan. Nini Anteh mendarat di bulan jauh sebelum astronaut dan kosmonaut dari Rusia dan Amerika menginjakkan kakinya di bulan. Telah ribuan tahun Nini Anteh berada di bulan.
Dalam dongeng Nini Anteh tidak dijelaskan kendaraan apa yang membawa nini Anteh mendarat di bulan. Melainkan dalam cerita tersebut hanya dideskripsikan bahwa nini Anteh menuju bulan dengan berjalan di atas mega putih. Deskripsi perjalanan Nini Anteh ke bulan inilah yang menarik untuk dimaknai. “Mega putih” dapat bermakna sebagai asap pesawat luar angkasa yang meluncur dengan kecepatan tinggi. Dengan pesawat luar angkasa itulah Nini Anteh menjelajah ruang angkasa kemudian mendarat di bulan bersama kucing kesayangannya.
Selendang yang selalu dipakai Nini Anteh bukan sembarang selendang, melainkan selendang yang identik dengan selendang yang dipakai oleh para bidadari, misalnya dalam cerita rakyat Jaka Tarub. Istri Jaka Tarub sebagai seorang bidadari saat turun ke bumi memakai pakaian yang dapat membawanya terbang. Pakaian yang dikenakan bidadari turun ke bumi merupakan hal yang menarik untuk dimaknai dengan teori astronaut. Sayap, baju terbang, dan pakaian yang tidak rusak sewaktu dikubur di dalam tanah, ditimbun di sampah, atau ditimbun padi di atas lumbung merupakan pakaian yang penuh keajaiban. Tentunya bukan sekedar pakaian biasa, melainkan pakaian yang terbuat dari bahan khusus setidaknya terbuat dari bahan logam yang tahan karat serta tahan rusak. Pakaian semacam itu merupakan pakaian para astronaut. Jadi, ketika bidadari turun ke bumi dengan mengenakan baju terbang berikut selendangnya, bidadari tersebut mengenakan pakaian seperti yang biasa dipakai para astronaut. Begitu pula halnya dengan selendang Nini Anteh, bukan sembarang selendang melainkan selendang yang digunakan sebagai pelengkap pakaian seperti yang biasa dipakai para astronaut. Selendang dijadikan sebagai simbol bertalian dengan kebiasaan atau tradisi kaum perempuan di tatar Sunda tempo dulu yang selalau mengenakan selendang, baik sebagai penutup kepala yang berfungsi sebagai kerudung, maupun sebagai kain selendang pelengkap busana.
Dalam dongeng, Nini Anteh ditampilkan sebagai tokoh perempuan yang telah berhasil menjelajah ruang angkasa. Hal ini merupakan simbol penghargaan terhadap kaum perempuan pada posisi yang tinggi. Penempatan figur Nini Anteh di bulan mengandung makna bahwa perempuan Sunda telah mampu menempati kedudukan yang lebih tinggi yang dilambangkan dengan bulan. Bulan melambangkan dunia atas sekaligus pula melambangkan perempuan. Nini Anteh sebagai penghuni bumi yang kemudian mendarat di bulan merupakan penggambaran bersatunya keharmonisan dua dunia. Jalinan dunia atas dengan dunia bawah adalah cerminan kesempurnaan hidup.
Meskipun Nini Anteh telah meraih kedudukan yang tinggi, tetapi Nini Anteh tetap menjaga citra “keibuaannya”. Nini Anteh tidak lantas menanggalkan peran sebagai seorang ibu atau sebagai seorang istri. Nini Anteh tetap menunjukkan baktinya terhadap aki sebagai suami. Kain tenun yang telah selesai ditenun dipersembahkan pada aki di bumi. Hal ini merupakan simbol pengabdian seorang istri kepada suaminya. Simbol lain yang melekat pada diri Nini Anteh adalah seperangkat alat tenun yang menandai tugas dan tanggungjawab serta peran perempuan dalam rumah tangga.
Figur perempuan yang ditampilkan dalam dongeng Nini Anteh adalah perempuan yang telah berumur dengan julukan “nini” ‘nenek’, berbeda dengan cerita rakyat dari Jepang yang bertokohkan seorang gadis pergi ke bulan. “Nini” lebih mengarah pada “luang” atau pengalaman yang dimiliki oleh Nini Anteh dalam meraih derajat yang lebih tinggi dan mulia. Di samping itu, bermakna pula pada kesinambungan pewarisan tradisi, perempuan identik dengan pemelihara atau pelestari tradisi.
Berdasarkan penafsiran terhadap dongeng Nini Anteh dengan menggunakan pemahaman teori astronaut, maka dapat disimpulkan bahwa dongeng Nini Anteh merupakan proyeksi manusia bumi (perempuan Sunda) yang telah berhasil mendarat di bulan. Keberhasilan Nini Anteh mendarat di bulan membuktikan bahwa kebudayaan dan peradaban manusia bumi (Sunda) tidak kalah oleh tingkat kebudayaan dan peradaban makhluk angkasa yang lebih banyak digambarkan dalam cerita rakyat sebagai penjelajah ruang angkasa yang kemudian turun ke bumi. Di samping itu, dongeng Nini Anteh mengungkapkan pula suatu konsep penguasaan teknologi mutakhir masyarakat Sunda pada masanya. Bila dalam cerita rakyat yang bertokohkan bidadari merupakan simbol para astronaut perempuan dari luar angkasa, maka dalam dongeng Nini Anteh, tokoh Nini Anteh merupakan simbol manusia bumi (Sunda) yang menjelajahi ruang angkasa.

(INDONESIAN VERSION) PROF. ARYSIO SANTOS IN ATLANTIS - THE LOST CONTINENT FINALLY FOUND




TEMU WICARA BERSAMA PROF. ARYSIO SANTOS MENGENAI ATLANTIS, BENUA YANG HILANG AKHIRNYA DITEMUKAN

(INDONESIAN VERSION) AN INTERVIEW WITH PROF. ARYSIO SANTOS --- ATLANTIS, THE LOST CONTINENT FINALLY FOUND, WHICH IS TO BE IN INDONESIA, THE INDONESIAN ARCHIPELAGO. HOW GREAT IS THAT, IF YOU TAKE A LOOK OF THE ARCHIPALEGO OF INDONESIA (WITH THE AREAS SURROUND), YOU WILL SEE THE SHAPE OF A BOAT. WE INDONESIANS HAVE ADMITTED AS IT IS.



(Terjemahan dari video ini belum seluruhnya diedit, Insya Allah sesegeranya akan saya  selesaikan)

zaterdag 16 oktober 2010

[Urang Sunda] Karawang

Upama ngarujuk kana naskah Bujangga Manik (anu hirup dina tahun 1500-an atawa abad 16), wates Sunda di wetan teh tepi ka walungan Cipamali (Brebes) jeung Ciserayu. Walanda nyeiun provinsi Jawa Barat ngan ukur semet ka Cimanuk di wetan (kuduna mah leuwih lega). Masih keneh ‘can dirasa cukup meureun, upaya ngaheureutkeun identitas Sunda teh beut kateterusan gening. Tulisan Zaim Uchrowi anu nyebutkeun Banten jeung batawi dulur urang Sunda, dihaja atawa henteu, langsaung atawa henteu, ngabentuk opini yen urang Sunda ngan di wengku ku wilayah provinsi Jabar kiwari hungkul. Barudak anu henteu diajar atawa maca sajarah pastina bakal percaya ku opini saperti kitu. Jigana bakal leuwih loba jalma anu ngabentuk opini jiga kitu teh, lain si Zaim hungkul. Mudah-mudahan kuring salah.

Kitu oge anu nulis sajarah Karawang, bakal ngawangun opini yen Karawang ti baheula mula dikawasa ku seler non-Sunda anu oge sacara henteu langsung ngurangan identitas Sunda di Tatar Sunda.



Balik kana eusi tulisan sajarah Karawang, bade nambihan atanapi ngadukung kang Kumincir. Kuring ‘can ‘caya hususna kanan sajarah Karawang saacan taun 1500-an. Tulisannana asa henteu valid lantaran tanpa nyebutkeun rujukan ‘nu jelas.Punten ditulis dina bahasa Indonesia.


Kelihatan sekali yang menulis sejarah Kabupaten Karawang ini sangat jawa-sentris (Jumawa?). Yang ditonjolkan Jawa dan Jawa sebagai penguasa dari waktu ke waktu, Jawa dan Jawa sebagai penakluk dan tukang perang.


Kerajaan Tarumanegara yang bukan Jawa, si penulis batasi sesempit mungkin dengan menyebut cakupannya hanya Jakarta dan sekitarnya saja, padahal prasasti dari jaman Taruma ada juga di Kabupaten Pandeglang.


Dari sisi penggunaan kata Jawa, sebenarnaya yang dikenal sejak 2000 tahun yang lalu oleh bangsa-bangsa asing adalah Iabadiou (javadwipa) atau Java island atau pulau jelai/jawawut. Penjelajah dari China juga menyebutkan bahwa di Jawadwipa ada daerah Sint’-o (Sunda) dan ada daerah Cho-po (Jawa). Merujuk ke informasi tersebut, saya menilai si penulis terkesan mengaburkan pengertian antara jawa sebagai pulau (javadwipa) dengan jawa sebagai wilayah yang dihuni dan dikuasai oleh bangsa Jawa (Cho-po) dengan pernyatan-pernyataan:



   Pada awal abad ke 8 TU, raja Sanjaya (salah satu pangeran dari Dinasti Shailendra) telah menyatukan kembali kerajaan/negara Jawa milik kakak ibunya.
   Pada awal abad ke 12 TU, raja-raja Dinasti Ishana di Daha-Kediri berhasil menyatukan Jawa. Dan selanjutnya Maharaja Jayabhaya berhasil menyatukan Indonesia . Pada saat ini boleh dikatakan, bahwa daerah Kabupaten Karawang juga ikut masuk dalam wilayah Maharaja Jayabhaya.

Padahal tidak ada bukti bahwa di karawang ada peninggalan-peninggalan Jawa yang Hindu atau Budha pada waktu itu. Jangan bangunan-bangunan indah seperti prambanan (candi hindu) atau borobudur (pagoda budha) atau pagoda Kamboja atau Vietnam yang diklem sebagai taklukan Jawa, candi kecil pun tidak ditemukan di Karawang. Kerajaan Dhaha-Kediri mungkin saja menguasai Jawa tapi dalam arti Cho-po bukan Jawadwipa. Jadi Karawang menurut saya tidak merupakan bagian dari kerajaan-kerajaan bangsa Jawa pada masa itu.

Keraguan saya bertambah terhadap kebenaran tulisan si penulis karena dia kelihatan tidak menggunakan referensi yang benar karena dia menyebutkan bahwa Sanjaya adalah salah satu pangeran dari dinasti Shailendra. Padahal yang benar bahwa Sanjaya adalah pendiri dinasti / wangsa Sanjaya bukan dari wangsa Shailendra.

Penulis juga bersembunyi dibalik referensi yang tidak seharusnya. Contohnya dia menyebutkan bahwa pada awal abad ke 11 TU, Maharaja Airlangga berhasil memulihkan kembali wilayah kerajaan mertuanya dan dalam prasatinya menyebutkan banyak daerah (asal para pedagang) di seluruh Indonesia, Asia Tenggara, India (Asia Selatan) dan China. Tidak ada kepastian yang menyebutkan bahwa dalam prasati tersebut kerajaan Sunda dikuasai / ditaklukkan. Namun demikian, penulis memaksakan menyimpulkan / membuat pernyataan bahwa ”Jayabhupati sangat mungkin tetap setia pada Maharaja Airlangga sehingga daerah Kabupaten Karawang pun pada saat ini setia kepada Maharaja Airlangga.” Dalam buku Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran, pak Edi S. Ekajati menulis bahwa tidak ada bukti anggapan orang tertentu bahwa Airlangga menguasai daerah Sunda.

Terus, pernyataan bahwa ”pada awal sampai akhir abad ke 13, Maharaja Kertanegara berhasil ......... pada saat ini boleh dikatakan daerah Kabupaten Karawang juga termasuk dalam Kekaisaran Maharaja Kertanegara” sama tidak ada bukti sejarahnya di Karawang atau di tatar Sunda.

Dan pernyataan bahwa ”pada abad ke 14 TU, boleh dikatan seluruh Indonesia dan juga Malaysia serta Brunai dan Filipina Selatan boleh dikatan menjadi wilayah/jajahan dan pengaruh para Maharaja Dinasti Rajasa di Majapahit. Dan daerah Kabupaten Karawangpun demikian juga” bertentangan dengan kenyataan bahwa 2 kali serangan Majapahit ke kerajaan Sunda tidak berhasil dan akhirnya kerajaan tersebut melakukan pengkhianatan yang diakhiri dengan perang Bubat. Penulis ini terkesan memanipulasi sejarah.

Demikian juga pernyataan penulis bahwa ” Pada akhir abad ke 15 TU, ...... pada saat yang sama, negara Pajajaran didirikan di daerah Bogor dan daerah Kabupaten Karawang termasuk di dalam wilayah Pajajaran.” tidak menggunakan referensi dan bertentangan dengan keterangan dari dokumen-dokumen penjelajah / ekspedisi Portugis yang tidak menyebutkan keberadaan kerajaan Pajajaran tapi menyebutkan bahwa Kerajaan Sunda mencakup wilayah sampai Sungai Cimanuk. Naskah Bujangga Manik dari tahun 1500-an (yang tersimpan baik di perpustakaan Bodleian Oxford, Inggris sejak tahun 1627/29) juga tidak menyebutkan berdirinya kerajaan Pajajaran; ada juga kerajaan Sunda dengan ibu kota Pakuan. Sedangkan kerajaan Sunda sudah lama berdiri. Dengan demikian Karawang sampai tahun 1500-an adalah bagian dari kerajaan Sunda bukan Pajajaran.

Jadi tulisan Sejarah Kabupaten Karawang sebelum tahun 1500-an sangat tidak valid.

Dan saya pikir upaya-upaya mempersempit identitas Sunda seperti ini, sengaja atau tidak, kemungkinan akan berlanjut terus. Mudah-mudahan saya salah. Sangat besar tantangan yang menghadang orang Sunda. Untuk itu, peninggalan-penginggalan sajarah baik berupa situs, prasati, maupun naskah-naskah kuno harus segera diungkap oleh Pemerintahan Provinsi dan Pemkot/kab di Jabar dan Banten sebelum warisan leluhur itu dirusak oleh orang yang ingin menghapus jejak sejarah seperti yang dialami daerah Rancamaya (yang dijadikan perumahan elit) dan batutulis (yang diobok-obok Abu Jahal), mumpung kita ada dalam era otonomi daerah, kalau perlu dengan meminta bantuan organisasi internasional yang bergerak dalam perlindungan warisan budaya. Perlu juga disiapkan SDM bidang sejarah dan yang menguasai filologi yang bisa direkrut melalui ikatan dinas dari Pemda sebagai penerus ahli sejarah dan budaya Sunda yang telah berpulang.

Sakitu wae ti sim kuring, kirang langkungna neda dihapunten.

Wassalam,
  Asep

kumincir <kumincir@uran...> wrote:                                  Kang Marwan, manawi kersa, pamugi tiasa ngiberkeun oge ti mana ieu artikel sumberna.

http://www.opensubscriber.com/message/urangsunda@yahoogroups.com/6793497.html

NABI SULAIMAN AS

http://www.imam-al-mahdi.com/mahdi06.html

vrijdag 8 oktober 2010

Cirebon Belum Memiliki Buku Sejarah | Pikiran Rakyat Online

Cirebon Belum Memiliki Buku Sejarah | Pikiran Rakyat Online


Cirebon Belum Memiliki Buku Sejarah



SUMBER,(PRLM).-Meskipun telah banyak catatan terkait keberadaan Cirebon sejak pra sejarah hingga pra kemerdekaan, termasuk perlawanan masyarakat Cirebon terhadap kaum imperialis, namun, hingga saat ini Cirebon belum memiliki buku sejarah.
"Kita belum pernah tercatat dalam sejarah Nasional, meskipun salah satu di antaranya pernah ada perlawanan dari kaum Santri yang dipimpin Ki Bagus Rangin cs pada tahun 1818 yang dikenal dengan perang Kedongdong. Lebih dulu dari perang Aceh dan Diponegoro tapi tidak tercatat dalam sejarah," kata Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Disbudparpora) Kab. Cirebon, Sukanda pada seminar Buku Sejarah Cirebon di hotel Apita, Kamis (5/8).
Hal senada disampaikan Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya (Disparbud) Provinsi Jawa Barat, H. Herdiawan. Ia merasa prihatin, Cirebon yang begitu punya nama besar tetapi belum punya buku sejarah. "Oleh karenanya, saya mendukung pentingnya seminar sejarah Cirebon ini," katanya.
Disebutkan, penulisan sejarah tidak boleh bergantung kepada waktu maupun dana yang ada, karena, penulisan sejarah itu intinya adalah kejujuran.
Pada seminar sehari dengan moderator budayawan Cirebon Nurdin M Noer itu hadir dan menyampaikan materi antara lain, DR. Agus Aris Munandar, Prapto Yuwono, M.Hum, Tawaliuddin Haris, M.Hum dari UI, Rafan S Hasyim (IAIN She Nurjati Cirebon), Prof. Sobana Harjasasmita dan DR. Mumuh Muhsin Zakaria (Unpad) serta Eva Nur Arofah, M.Hum dari UGM.
Menurut Prof. Sobana, penulisan sejarah Cirebon tidak bisa disusun sekaligus, namun akan dilakukan secara bertahap, dan diharapkan bisa disusun lengkap pada tahun depan. Baru dituangkan dalam bentuk kerangka tulisan mulai zaman pra sejarah sampai dengan pendudukan Jepang. "Setelah dilakukan penelusuran sumber-sumber sejarah itu telah tuntas, selanjutnya akan dilakukan penyusunan," kata Sobana, menjelaskan.
M. Rafan Hasyim, mengatakan, peletak dasar institusi politik dan pemerintahan di Cirebn adalah Mbah Kuwu Cerbon atau Pangeran Cakrabuana. Sementara untuk peletak dasar institusi pendidikan di Cirebon yakni Syekh Nurjati. "Kedua institusi ini selanjutnya dipadukan menjadi satu dan menjelma sebaga suatu pemerintahan berupa Kesultanan Cirebon," kata M. Rafan.
Di sisi lain, Prof. Dr. Agus Aris Munandar, Arkeolog Fakultas Ilmu Budaya UI mengatakan, di Gua Sunyaragi Kota Cirebon masih ada arca/patung sampai dengan abad 19. Namun, sekarang keberadaan patung tersebut tidak jelas.(A-146/kur).***

donderdag 7 oktober 2010

Wangsit Siliwangi


Carita Pantung Ngahiangna Pajajaran

Pun, sapun kula jurungkeun
Mukakeun turub mandepun
Nyampeur nu dihandeuleumkeun
Teundeun poho nu baréto
Nu mangkuk di saung butut
Ukireun dina lalangit
Tataheun di jero iga!
Carita Pantung Ngahiangna Pajajaran

Saur Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana ngahiang: 
Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia!
Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. 
Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! 
Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! 
Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.

Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! 
Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! 
Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!

Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. 
Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!

Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. 
Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. 
Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. 
Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!

Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. 
Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. 
Arinyana engké jaga, bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada!

Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. 
Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. 
Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. 
Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. 

Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. 

Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! 
Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.

Engké bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab kaburu dilarang ku nu disebut Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. 

Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. 
Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. 
Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. 

Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. 
Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.
Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. 
Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. 

Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.

Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. 
Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! 
Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal!

Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! 
Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. 
Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. 
Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. 
Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.

Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. 
Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. 
Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. 
Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. 
Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.

Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! 
Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. 
Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran.

Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! 
Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. 
Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. 
Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. 
Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan............................. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.

Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! 
Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. 
Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.

Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. 
Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!

Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. 
Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! 
Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.

Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. 
Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. 
Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!

Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. 
Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati.

Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon!
Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!