Pagar Betis Siliwangi-Rakyat
Oleh H. ADANG S.
UNTUK menumpas gerombolan pengacau DI/TII di Jawa Barat (dan Banten sekarang), Kodam VI Siliwangi (sekarang Kodam III) menggelar operasi militer Brata Yudha yang lebih populer dengan sebutan pagar betis. Operasi militer yang juga merupakan senjata pamungkas Siliwangi itu berlangsung pada tahun 1960-an dengan melibatkan kekuatan rakyat.
Ternyata, pagar betis yang dilaksanakan Siliwangi bersama rakyat itu telah berhasil melumpuhkan kekuatan DI/TII, sehingga rakyat di pedalaman yang sebelumnya dicekam perasaan takut yang berkepanjangan pun bisa bernapas lega kembali. Kampung mereka pun kembali aman seperti sediakala.
Keberhasilan pagar betis ternyata membuat Siliwangi semakin dicintai rakyat. Sementara itu, namanya semakin semerbak mewangi bahkan sampai sekarang, peristiwa bersejarah pagar betis itu masih tetap melekat dalam ingatan para pelakunya, seakan meninggalkan kesan yang sulit untuk dilupakan.
Kisah pagar betis dengan segala suka dukanya itu pun masih sering dibicarakan orang. Karena pagar betis dilaksanakan Siliwangi bersama rakyat, tentu saja kedua belah pihak yang saling membutuhkan itu senantiasa tampak bersatu. Keduanya tidak bisa dipisahkan bagaikan ikan hidup dalam air. Bahkan benar-benar dalit ngahiji lir gula jeung peueutna, jauh sebelum istilah kemanunggalan dipopulerkan Jenderal M. Yusuf. Serta mungkin saja "indahnya kebersamaan" Siliwangi dan rakyat membuat keduanya sapapait-samamanis pun hanya tampak selama mereka melaksanakan pagar betis, serta keduanya telah membentuk satu kekuatan yang super tangguh.
Gubuk darurat
Konon lahirnya pagar betis tersebut berasal dari ide yang dicetuskan Kolonel Isak Juarsa, Danrem Surya Kencana Bogor, di saat gerombolan DI/TII pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo belum menunjukkan tanda-tanda mau menyerah. Bahkan semakin merajalela, membuat penduduk yang tinggal di pedalaman semakin menderita. Oleh Panglima Siliwangi, Mayjen Ibrahim Ajie, ide tersebut dituangkan ke dalam bentuk PO (perintah operasi) berikut petunjuk teknisnya.
Untuk melaksanakan perintah panglima, sebanyak 30 batalyon prajurit Siliwangi (termasuk dua Batalyon Kujang, masing-masing Batalyon 330/Kujang-I dan Batalyon 328/Kujang-II), mulai bergerak menuju sasaran yang ditentukan. Satu bagian ditugaskan ke tengah hutan untuk melaksanakan penyisiran. Namun pada saatnya turun, mereka tidak kembali ke Markas Batalyon. Tetapi ke perkampungan penduduk, terus berada di tengah-tengah penduduk, sehingga lebih dikenal dengan sebutan "pastur" atau di tepas batur.
Satu bagian lagi berangkat menuju gunung bersama rakyat untuk melaksanakan pagar betis. Sampai di atas gunung, baik tentara maupun rakyat sama-sama membuat gubuk darurat sebagai tempat beristirahat sekaligus berfungsi pos penjagaan. Gubuk yang dibuat dalam posisi menghadap ke puncak gunung, diatur sedemikian rupa sehingga setelah 3-4 gubuk yang ditempati rakyat, terdapat sebuah gubuk yang ditempati tentara. Jaraknya pun cukup rapat.
Karenanya, setelah pagar betis diberlakukan, di Jawa Barat (dan Banten) tidak ada gunung yang tidak dipagar bedil-dipagar betis. Pasalnya gunung-gunung yang tidak tampak gundul seperti sekarang ini selalu dijadikan tempat persembunyian gerombolan. Namun, semua itu dilaksanakan secara bertahap. Disesuaikan dengan DO (daerah operasi) yang telah ditentukan.
Meski rakyat harus berada di atas gunung selama dua malam dengan segala risikonya, ikut melaksanakan pagar betis bersama tentara itu tidak membuat mereka takut. Mereka laksanakan secara ikhlas tanpa mengharap imbalan, karena hanya diberi jatah beras secara cuma-cuma. Untuk lauk pauk terutama ikan asin atau peda, mereka bawa sendiri. Begitu pula halnya dengan peralatan yang diperlukan seperti panci, kastrol, tikar serta selimut. Tentu saja mereka pun tidak lupa untuk membawa golok.
Selama melaksanakan pagar betis, rakyat yang tampak dekat dengan tentara serta senasib dan seperjuangan, tentu saja senantiasa meningkatkan kewaspadaan agar tidak kecolongan. Pada malam hari mereka tidak hanya menyalakan api untuk menghangatkan badan. Namun, semua akan ayeuh-ayeuhan bagaikan orang yang sedang menyaksikan pertandingan sepak bola. Semua akan berteriak secara bersahutan sambil membunyikan kentongan. "Awas euy, eta di lebak aya anu ngarayap!" atau "Tewak euy! Podaran ...!" Teriakan yang harus berlanjut sampai pagi hari tidak hanya membuat gunung dan hutan menjadi riuh rendah. Namun, semua itu membuat gerombolan semakin ketakutan.
Menyerah
Setiap dua hari sekali, petugas pagar betis akan bergerak maju. Letak gubuk yang semula berada di lereng-lereng pun semakin ke atas. Tujuan utamanya untuk mempersempit ruang gerak gerombolan. Karenanya, gerombolan yang tidak mengenakan pakaian seragam namun memiliki senjata api, semakin terkurung. Semakin terjepit.
Jika mereka akan memilih untuk tetap bertahan di tempat persembunyiannya, dipastikan akan mati kelaparan. Karena mereka tidak bisa lagi turun ke kampung-kampung untuk mendapatkan bahan makanan dengan caranya yang khas, mengambil secara paksa sambil menodongkan ujung laras senjatanya. Terkecuali nekat, memberanikan diri melewati petugas pagar betis dengan segala risikonya.
Karena sudah kehabisan bahan makanan sementara perutnya terus melilit minta diisi, akhirnya mereka pun banyak yang menyerah. Gerombolan musuh satru kabuyutan rakyat dan Siliwangi pun harus meninggalkan tempat persembunyiannya, sambil mengangkat kedua belah tangannya.
Banyak di antara mereka menyerah gara-gara tidak tahan mencium baunya ikan asin yang dibakar petugas pagar betis. Banyak juga yang tergiur baunya asap nasi liwet lewat asapnya yang diembuskan angin, membuat mereka harus menelan air liur. Bahkan ada pula yang menyerah gara-gara mendengar lagu tembang Sunda Cianjuran yang disiarkan lewat RRI Bandung. Ternyata, nada dan irama Cianjuran yang lembut halus memelas itu bisa meluluhkan kerasnya hati seseorang, sehingga akhirnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Inilah keberhasilan pagar betis yang hanya dilaksanakan Siliwangi bersama rakyat di saat menumpas gerombolan pengacau. Lalu, adalah rakyat termasuk juga OKD (organisasi keamanan desa) yang melaksanakan pagar betis merasa dirinya sebagai Siliwangi? Mungkin saja lahirnya motto: "Siliwangi adalah rakyat Jabar (dan Banten), rakyat Jabar (dan Banten) adalah Siliwangi" pun berawal dari pagar betis. Dari sebuah kenyataan.
Kartosuwiryo tertangkap
Meskipun pagar betis sudah dilaksanakan cukup lama, Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo yang menamakan dirinya sebagai panglima tertinggi DI/TII, belum juga menyerah. Tempat persembunyiannya pun belum diketahui. Bahkan beberapa orang anak buahnya yang telah menyerah pun tidak ada yang sanggup menunjukkannya secara pasti.
Pada tanggal 4 Juni 1962, kompi C Batalyon 328/Kujang-II di bawah pimpinan Letda Suhanda (sekarang Kolonel Purnawirawan) bergerak mengikuti jejak ke arah Kawah Kamojang sekarang. Jejak yang masih baru serta diyakini Letda Suhanda adalah jejak gerombolan, ternyata bisa diikuti sampai Danau Ciharus. Beruntunglah jejak yang menghilang itu berhasil diketemukan kembali, sehingga bisa dilacak sampai Gunung Dogdog dan Gunung Rakutak.
Di atas ketinggian yang tampak gelap penuh dengan pepohonan, prajurit Siliwangi yang sedang bergerak itu dikejutkan dengan suara tembakan yang ternyata dari pihak musuh. Baku tembak dalam jarak dekat pun tidak bisa dihindari. Di saat pertempuran berlangsung, di saat peluru berdesingan, Sersan Ara Suhara (sekarang Letnan Kolonel Purnawirawan), terus bergerak mendekati sebuah gubuk yang ternyata di dalamnya terdapat Kartosuwiryo.
Ia yang dikenal sakti manggulang mangguling karena memiliki berbagai jenis ilmu sehingga bisa bersembunyi di balik sehelai daun, ternyata harus mengakui keunggulan Siliwangi. Ia yang berhasil ditangkap di dalam sebuah gubuk pun langsung ditandu beberapa orang prajurit Kujang menuju Kecamatan Ibun (sekarang) melewati pagar betis.
Tertangkapnya Kartosuwiryo yang merupakan puncak keberhasilan pagar betis itu merupakan peristiwa bersejarah yang seyogianya diperingati Kodam Siliwangi. Sayang, yang tercatat telah memperingatinya hanya sekelompok generasi muda dari Majalaya, serta PWKS (Paguyuban Warga Kujang Satu), yang anggotanya terdiri dari para purnawirawan.***
Penulis, mantan prajurit Yon 330/Kujang-I Siliwangi.
Sumber : http://aingkumaha.blogspot.com/2008/05/pagar-betis-siliwangi-rakyat.html
Geen opmerkingen:
Een reactie posten